Senin, 09 September 2013

Hujan di Balik Cadar Biru | Cerpen


Hujan di balik Cadar Biru


This Romeo is bleeding, but you can’t see his blood
It’s nothing but some feelings
That this old dog kicked up
It’s been raining since you left me
Now I’m drowning in the flood
You see I’ve been a fighter
But without you I give up

Now I can’t sing a love song
Like the way it’s mean to be
Well, I guess I’m not that good anymore
But baby, that’s just me

Yeah, I, will love you, baby
Always and I’ll be there
Forever and a day, always

I’ll be there till the stars don’t shine
Till the heaven burst and the words don’t rhyme
I know when I die you’ll be on my mind
and I’ll love you, always..

Dibalik jendela ruang tamu aku tersenyum sendu melihat tetesan deras air penuh berkah itu. Sesekali aku mainkan harmonica coklat di sebelah kanan tanganku yang mengiringi lagu sendu Always milik Jon Bon Jovi dari MP3 androidku . Teringat kenangan 7 tahun lalu bersamamu dan juga hujan.

***
“Kamu dimana sih Rasti,kok gak nongol-nongol  aku udah nungguin kamu dari setengah jam lalu?’teriak Ardi dari seberang telepon
“Aku keujanan dari mulai berangkat tadi dan hujan deres gak reda-reda nih, ini motorku juga mogok makanya berhenti, aku udah deket kok”sahutku
“Ya udah buruan, aku tunggu di wartel ya..tut..tut..tut” balasnya sambil menutup pembicaraan di telpon.
Aku segera memaksa bebek besiku dan mengengkol mesinnya agar dapat bergerak.
“Kenapa neng?”tanya sopir truk diseberang jalan
“ini bang motornya gak bisa idup dari tadi, gara-gara keujanan mungkin mesinnya” jawabku berharap mendapat bantuan
“hehehe…semangat ya neng” jawab sang sopir sambil berlalu mengegas truknya, lalu melaju
etdah, kirain mau bantuin bang” balasku lemas
Sekitar lima menit kemudian , barulah mesin sepeda motorku menyala. “Alhamdulillah” bisikku dalam hati. Saat dalam perjalanan terasa getaran di dalam saku rok abu-abuku. “aduh kenapa lupa masukin hape ke dalam tas sih, bisa rusak nih dipake nerjang ujan deres gini” kataku ngedumel dalam hati. Tak lama sampailah aku di depan wartel, tepat dimana Ardi menungguku lengkap dengan seragam sekolahnya.
“Kamu ujan-ujanan?”tanya Ardi
“Yah..tadi kan aku bilang lagi ujan deres, kamunya gak sabaran sih”jawabku cari alibi
“Maafin aku ya hon ..aku kira kamu bawa jas hujan, baju kamu basah kuyup gini, bawa baju ganti gak?
“Enggak, kan dari pulang sekolah langsung nemuin kamu jadi gak sempet pulang, dari sekolah juga emang udah ujan” sahutku
Aku dan ardi memang bersekolah di tempat yang berbeda, kami sama-sama berada di kelas tiga. Kami sudah berpacaran 2 bulan belakangan. Sepupu Ardi, Indra adalah pacar dari teman akrabku Tia. Merekalah yang berhasil “mencomblangkan” aku dan Ardi.
“Minum teh yah hon, kan dingin abis keujanan”katanya
“Enggak lah, biarin aja ntar juga kering dibadan bajunya”jawabku
Yaelah gimana mau kering dibadan, ujan aja masih deres begini, yang ada malah masuk angin, karena kena ujan berkali-kali”
“Hehehe..” aku cuma nyengir-nyengir kuda
“Mampir kerumah aja yuk hon, nanti pinjem dan pake baju adek dulu, daripada basah gini nanti malah sakit kamunya” katanya menawarkan solusi
“Ih, aku malu lho ketemu mami kamu, enggak lah lain kali aja” jawabku
“Tuh kan kapan lagi coba kalo gak di mulai dari sekarang” katanya, meyakinkanku.
“Ya udah deh, kalo kamu maksa, hehehe” jawabku manja
“Ya udah, yuk sekarang ke rumah ” katanya
“Tapi kan ujan nya masih deres, nanti kamu keujanan juga” sahutku
“Kamu kan udah keujanan karena mau ketemu aku, sekarang gantian aku juga ngerasain apa yang kamu rasain, motornya biar disini aja dulu, nanti biar Falaq yang anterin kamu pulang”
Aku berjalan sambil tersenyum malu-malu, selang beberapa detik tangannya menggandeng tanganku menunju sepeda motornya. Jadilah, kami benar-benar kehujanan di tengah jalan raya, ketika semua orang berhenti untuk berteduh dan menghindari derasnya hujan, tapi jiwa muda dan perasaan senang kami berhasil menerjang tajamnya air hujan yang menjatuhi  pipi dan mengguyur jasad kami.
“Kamu kok gak pegangan aku, nanti jatuh gimana? Sini mana tangannya”kata Ardi
Tanpa dikomando tangan kirinya menyambut telapak tanganku dan menggenggamnya sangat erat
“Jangan dilepas yah hon, biar begini terus sampai 70 tahun ke depan”
Kata-kata Ardi barusan membuatku, senyum-senyum kegeeran, mungkin kalau ada kaca di depanku, aku bisa melihat wajahku yang memerah karena bahagia. Sekitar 10 menit kemudian, tibalah kami berdua di rumah Ardi. Ibunya menyambut kami dengan senyum ramahnya.
“Mi, ini Rasti temenku” Ardi memperkenalkanku dengan ibunya.
 Ia pun masuk ke dalam kamarnya dan meninggalkan aku berdua dengan ibunya.
“Loh, kok pada ujan-ujanan, bawa baju ganti gak?tanya ibunya
“Enggak bu…”jawabku
“Oh ya udah, pake baju adek aja ya, biar gak masuk angin”
Jadilah aku segera masuk ke kamar mandi dan bertukar pakaian memakai baju adiknya, satu setel, kaos dan celana panjang.
“Ini tehnya diminum dulu, ibu tinggal ke belakang ya..”
“Iya bu, makasih tehnya” balasku
Tak lama setelah itu, Ardi keluar dari dalam kamarnya dengan membawa kotak besar berbungkus kado dan satu tangkai bunga mawar merah yang dia selipkan di belakang punggungnya, aku pun pura-pura tak melihat ia menyelipkan bunga mawar itu.
“Selamat ulang tahun ya hon, ucapannya gak perlu aku sampein ya cukup aku simpan dalam doaku untuk kamu” kata Ardi
“Iihh.. harusnya kamu gak perlu repot-repot kasih kado deh” kataku
“Yee..kamu bukannya bilang makasih dikasih kado, malah marah-marah, itu aku beli pake tabungan dari hasil uang jajanku lho, dibuka dong” ujarnya
“Eh iya, makasih yaa sayaaang kadonya, lain kali gak usah beliin kado lagi deh, di simpen aja uangnya buat tabungan kamu”
“Ya udah, cepet buka kadonya”kata ardi
Aku pun membuka kado yang telah dibungkus rapi, entah adiknya atau Ardi sendiri yang membungkus kado itu. Di luar hujan masih sangat deras dan terdengar petir beberapa kali menngelegar. Tapi itu tidak membuat kami berhenti mengobrol.
“Wah.. bola basket dan harmonica, aku kira isinya boneka” kataku agak kecewa
“Nih, denger dulu ceritanya aku kasih kamu bola basket karena itu bentuk dukungan aku ke kamu, katanya mau ikutan seleksi student exchange ke Kanada, supaya kamu tambah tinggi aku saranin kamu rajin-rajin main bola basket” urainya
“Ah, kamu ngeledek aja deh bisanya” kataku dengan sedikit memonyongkan bibir.
“Idih siapa juga yang ngeledek, ini tulus, jangan manyun dulu dong.. hehehe, eh iya dan ini yang lebih penting, harmonica, tau gak kenapa alasannya aku kasih kamu harmonica?”Tanya Ardi
“Memangnya kenapa, ada apa dengan harmonika?tanyaku dengan mimic muka serius
“Kamu tau kan, kalo aku dari keluarga broken home, dan harmonika adalah satu-satunya benda yang ditinggalkan ayahku sebelum kedua orangtuaku bercerai,dulu aku masih sangat kecil, belum ngerti apapun,  kalo aku lagi inget ayahku, aku pasti mainin harmonica”. Ardi menarik nafas panjang, ada gurat kerinduan akan sosok ayah dalam kehidupan Ardi, aku terhanyut dalam haru saat itu.
“Yah, jadi kamu aku kasih harmonica sebagai simbol bahwa kamu adalah bagian dari hidupku, karena aku yakin bahwa kamu lah masa depanku, kamu yang aku cintai setelah Tuhan dan mami” ujarnya melanjutkan penjelasannya.
Aku menangis terharu mendengar ceritanya, kemudian dia meletakkan tangan kanannya ke punggung belakang badannya, dan mengambil setangkai bunga mawar merah yang terdapat kertas aluminium foil dibawahnya, untuk membuat bunga mawar tersebut bertahan beberapa hari dan tidak layu.
“Eits, jangan sedih, nih aku kasih bunga buat kamu, tujuannya sih biar mawar ini malu kalo ternyata ada yang lebih cantik dari dia” ujarnya merayu
Bukannya berhenti menangis tetapi justru airmataku makin deras dibuatnya.
“Udah dong hon dirayu kok malah makin jadi nangisnya” ujarnya sambil mengusap-usap kepalaku
Kami berdua larut dalam obrolan-obrolan seru, tak terasa jam menunjukkan pukul lima sore.
“Udah sore, aku pulang ya sayang, nanti kesorean sampe di rumah “

***
Tujuh tahun kemudian.
“Aku harap kamu ngerti” kata Ardi
“Aku selalu punya alasan untuk ngertiin dan pahamin kamu, aku juga selalu punya stok maaf untuk setiap kesalahan kamu” ujarku
“..tapi ini beda hon, aku ada dalam tahap harus memilih antara kamu atau mami, mami Cuma mau menantu suku Jawa”
“Ini gak adil buat aku” tangisku histeris
“Maafin aku hon..aku gak bisa jadi suami kamu, tut..tut..tut”
Telepon ditutup langsung oleh Ardi, aku coba hubungi lagi nomornya tapi sudah tak aktif lagi. Aku masih belum sadar bahwa dia memutuskanku sepihak tanpa memberi kesempatanku bertemu. Padahal tepat sebulan sebelumnya dia dan orangtuanya datang menemui orangtuaku dan melamarku. Sungguh tak habis pikir dan aku sama sekali tidak mengerti dengan semua alasan yang ia buat. Segera aku ambil lagi handphoneku dan ku telepon ibunya.
“Assalammualaikum, ibu apa kabar?”
“Wa’alaikumsalam Rasti, kenapa?” terdengar jawaban ibunya sedikit ketus
“Mami..Rasti mau cerita gak ganggu kan?”
“Ya udah cerita aja” kata ibunya datar
“Ardi barusan putusin Rasti, dan Rasti gak tau alasannya” tangisku
“Aduh Rasti mami gak mau tau urusan kalian berdua ya, Mami gak mau ambil pusing” katanya sewot
“Mami tolong bantuin Rasti, gimana Rasti bilang ke papa, mama dan keluarga besar yang udah tau kalo tahun ini Rasti dan Ardi mau menikah?”
“Ya bilang aja ke orangtua Rasti nikahnya ditunda sampai batas waktu yang gak bisa ditentukan?”
“berarti gak ada kepastian untuk  Rasti?”
“Mami gak mau tau ya urusan kalian berdua, selama ini kan kalian bahagia juga berdua, jadi kalo ada kejadian ini mami juga gak mau tau, udah dulu ya Rasti, mami ada tamu” ceklek..Ibunya ardi seketika memutuskan pembicaraan di telepon tanpa salam penutup.
Sebuah tanda Tanya besar besar ada dalam benakku. Sampai dua bulan kemudian. Tia, Calon istri sepupu Ardi yang notabene adalah sahabat dekatku mengirimkan sebuah pesan melalui Blackberry Messenger

Tia: Rasti, maaf sebelumnya udah tau dengan Tyas?
Aku: Gak tau, emang siapa?
Tia: Ardi sekarang dekat dengan cewek itu, kerjanya di kabupaten yang sama, kalo berangkat dan pulang selalu bareng, malah kalo berangkat cewe itu selalu dijemput Ardi kok..
Aku: Ya Allah teganya (dengan emoticon menangis)
tIA : Iya, malah maminya bilang ke bude, kalo Ardi beneran putus sama Rasti, maminya Ardi bakalan beliin mobil untuk Ardi dengan merk apapun.

Tanpa membalas bbm sahabatku tersebut, segera kuhubungi Ardi, setelah dua bulan kami tak saling sapa baik dalam sms, bbm atau lainnya. Aku merasa bahwa cintaku dengan murahnya di tukar dengan sebuah mobil. Jahatnya, itu yang ada dalam pikiranku. Kontak bbm Ardi pun telah lama ku hapus.
“Dia Cuma nebeng” Cuma itu jawaban Ardi saat kutanya tentang Tyas
“Kamu bohong”
Ardi tak menjawab, ketika aku bilang bahwa dia telah membohongiku, kami berdua hening sesaat, hanya terdengar suara isakan pelan dari mulutku.
“Maaf hon, aku memang lagi deket sama Tyas, gak tau kenapa mami seneng banget kalo dia ke rumah, aku sampe kepikiran kenapa bukan kamu yang ada di posisi itu, mami bahkan minta nomor ponselnya langsung di depanku, mami betah untuk ngobrol berlama-lama dengan Tyas,ngobrol apapun termasuk ngajarin Tyas tentang bisnis meubelnya ini. Mami kelihatan bahagia banget, aku  belum pernah liat itu sebelumnya. Aku gak pernah liat mami ngelakuin hal yang sama ke kamu” jawab Ardi.
“Tapi kamu bisa kan tetep usahain aku?”
“Udah terlambat hon, kita udah berjuang selam tujuh tahun untuk dapetin restu mami, tapi tetep nihil hasilnya.
“Terus kenapa kamu dan mami waktu itu minta aku langsung ke orangtuaku?”
“Aku gak ngerti, maafin aku hon”
Kali ini tanpa basa-basi kututup teleponnya dan aku berusaha menghubungi ibunya Ardi.
“Salah Rasti apa ke Mami?”
“Yang jelas Tyas lebih baik dari Rasti, UDAH itu”
“Terus kenapa mami dan Ardi malam itu datang ke rumah untuk bicarakan teknis pernikahan, bahkan mami sempat tunjukkan kain kebaya yang akan di pakai di acara pernikahanku dan Ardi ke mama?, terus kenapa mami sudah siapkan warna pink untuk jadi warna seragam kebaya pernikahan? Terus catering dan kue-kue yang mami sudah pesan itu apa mi?”
“Aduh Rasti mami gak mau ribut ya, asal Rasti tau, mami nemuin papa dan mama rasti itu TERPAKSA, karena Ardi ngancem mami bakal kabur dari rumah kalo gak nikah sama Rasti, belum apa-apa aja Ardi sudah berani bantah mami, mau jadi Malin Kundang dia kalo jadi nikah sama Rasti karena lebih bela istrinya dibanding ibu kandungnya sendiri, anak durhaka. Sembilan bulan Ardi ada di perut mami, mami susuin dengan asi, mami urus Ardi sendiri sampai dia bisa sebesar sekarang”.
“Mami, tolong kasih Rasti kesempatan untuk bisa ketemu mami dan Ardi dalam satu waktu, Rasti mohon sebelum Rasti bilang ke papa dan mama bahwa pernikahan yang sudah di rencanakan itu gagal” kataku sambil berlinangan airmata
“Mami gak bisa janji ya Rasti, kalo Rasti merengek begini terus itu tandanya Rasti bukan perempuan baik-baik, harusnya Rasti punya harga diri sebagai perempuan, yang jelas Ardi bilang ke mami kalo Ardi udah gak cinta lagi sama Rasti”.
Hah??kataku dalam hati, bersikap tenang setelah pemutusan sepihak yang aku sendiri tidak tahu sebabnya?bagaimana bisa aku berdiam diri dengan tanda tanya besar di kepalaku. Ibunya bilang bahwa Ardi sudah tak mencintaiku lagi, cepat sekali waktu tujuh tahun hanya kurang dari tiga bulan menghilangkan rasa cinta yang begitu kuat dalam hatinya.
“Tapi mi, satu kali ini aja Rasti minta waktu”
“Nanti mami bilang ke Ardi dulu”
Setelah pembicaraan lewat telepon itu, aku lebih banyak diam, mengurung diri di kamar. Aku rasa mama pun tahu bahwa aku sedang bermasalah, tapi mama memilih untuk tidak bertanya langsung padaku. Pernah sesekali mama bertanya keberadaan Ardi padaku, karena dulu setiap hari libur kerja Ardi selalu berkunjung ke rumah, tapi aku selalu beralasan ke mama bahwa Ardi sedang sibuk dan sedang ada Dinas Luar ke luar kota. Hari-hari sungguh kulewati dengan berat. Bagaimana mungkin aku dengan legowo begitu saja menerima kenyataan ini. Pernikahan yang sudah di dekat mata, dengan segala persiapannya gagal begitu saja. Pertanyaan-pertanyaan mulai muncul dalam pikiranku, apa jawabku kalau keluarga besarku bertanya tentang pernikahan ini. Semua pertanyaan yang akan muncul dari mulut oom, tante, bahkan nenekku. Apa aku harus bilang sejujurnya bahwa pernikahan ini batal, terus apa alasanku? Yaaa ampuuuunn…hampir pecah kepala ini dengan pikiran yang kubuat sendiri.

Tiga hari setelah pembicaraan di telepon, Ardi menelponku dengan menggunakan nomor ponsel ibunya.

“Besok kerja gak?”
“Enggak”kataku
“Mami bilang katanya kamu mau ketemu aku sama mami, besok bisa?jadi bsk kamu ke rumah ya”
Esok paginya kami bertiga bertemu, sesuai dengan permintaanku, dan mereka mengabulkan dengan memberi kesempatan padaku. Hari itu maminya lah yang membuka pembicaraan kami.
“Mami ini ya Rasti, dulu waktu mami masih gadis enggak mau diajak nikah kalo belum kerja”
Gleeg..baiklah mungkin maksudnya adalah pekerjaanku yang belum mapan, karena pekerjaanku sebagai seorang tenaga honorer di sebuah instansi pun ia permasalahkan. Aku tahu diri mungkin dalam pikirannya, anaknya yang seorang PNS terlalu baik jika harus menikah denganku, dan Tyas seorang wanita dengan label PNS yang sama adalah kritreia yang lebih baik masa depan finansialnya dariku. Kini aku tahu semua alasannya, di awal percakapan itu membuatku paham akan alasan-alasan pemutusan sepihak ini. Ya, selain masalah suku, pekerjaanku pun salah satu sebabnya. Saat itu, aku dan Ardi tak banyak bicara, kami hanya beberapa kali bertatapan mata, tentunya dengan mataku yang berkaca-kaca.
“Mi, boleh aku ngobrol berdua aja dengan Rasti?”
“Ya, kalo gitu mami tinggal ke belakang dulu liat karyawan turunin barang meubel ya, selesain masalah kalian berdua, di selesain jangan diem-dieman aja, kalo kalian gak ngomong-ngomong dan saling diem gak akan selesai masalhnya”
Seketika hanya ada kami berdua di ruang tamu itu, selama beberapa menit tak satupun kata terucap dari mulut kami berdua, hanya linangan airmataku yang menjadi awal pembuka tatapan mata kami. Kami memang tak berbicara tapi sorot matanya menunjukkan kekhawatiran Ardi akan perasaan yang aku alami. Mungkin ia tidak sanggup dan tidak tega untuk menyampaikan semua alasan yang ada dalam benaknya. Sambil menyodorkan dan meletakkan kepalaku di atas bahunya, tangan kanannya terus mengusap airmata yang menetes deras dari mataku, ia pun mengawali pembicaraan serius itu.
“Tanpa harus aku omongin kamu pasti tahu rasaku, sebanyak airmatamu yang mengalir di pipi itulah rasa hatiku”. Kata Ardi sambil terus mengusap pipiku.
Tak sepatah kata pun aku balas ucapan Ardi, hanya airmata yang terus mengalir tiada henti.
“Aku ini bukan laki-laki yang baik untuk kamu hon”
“Alasanmu terlalu klise” jawabku
“Aku ngerasa kalo kamu akan jauh lebih bahagia dengan orang lain, bukan dengan aku”
“Tapi selama ini aku bahagia sama kamu”
“Aku gak mau ngerusak masa depanmu hon, aku cinta kamu tapi kenyataannya ku gak bisa memiliki kamu. Kita bisa berencana untu menikahi siapa saja, tapi kita gak bisa merencanakan cinta itu untuk siapa. Menikah itu nasib, mencintai itu takdir” katanya sambil mengutip kalimat dari sastrawan Sudjiwo Tedjo.
 “Nasib itu masih bisa di ubah selama kita mau berusaha untuk merubah kan? kamu kan masih bisa usahain aku” ujarku melanjutkan jawaban atas penjelasannya
“Aku percaya kok kalo jodoh gak akan kemana” lama ia menatap aku yang terus meneteskan airmata di hadapannya.
Dalam akhir pembicaraan Ardi berkata, “Ikhlasin aku hon..”.  Aku tersenyum sambil berkata “Ya.. aku ikhlas”.

***
Jumat, 11 Januari 2013
Langit hitam mendung menaungi tenda berwarna abu-abu dan merah muda yang tersusun bersama bunga-bunga segar , berwarna-warni nan indah di setiap tiang tenda. Bangku-bangku tersusun rapi dengan jubah warna putih yang selaras. Ada banyak dekorasi indah di tenda teras gedung itu. Lampu Kristal besar dengan cantiknya menjadi ornamen yang menambah kesan wah pada tenda pink dan abu-abu itu.  Tampak banyak wanita berkebaya pink dan laki-laki yang berbatik coklat sibuk hilir mudik keluar masuk gedung. Akan ada sebuah prosesi sakral disana.
“Saya terima nikahnya Tiwi Ningtyas binti Rivandaru Atmaja dengan maskawin seperangkat alat shalat dibayar tunai”
“Sah..sah..sah..”
Ya.. di gedung itulah berlangsung pernikahan Ardi dan Tyas. Suara tersebut terdengar lantang dari dalam gedung hingga ke tenda teras gedung itu. Langit tetap tak cerah, seketika itu juga hujan segera turun deras tapi tak jatuh dari  langit, melainkan dari sebuah mata air bening menuju cadar biru yang kukenakan di acara itu. Ya.. aku menyelinap diantara para tamu di luar gedung. Memperhatikan dengan seksama tentang kejadian pagi itu.
Para tamu yang hadir tersenyum bahagia atas peristiwa itu, petugas catering yang dengan sibuknya melayani para tamu dan membawa menu-menu lain untuk ditambahkan di atas meja hidangan, dan pondok-pondok kecil makanan ringan siap saji yang tersusun rapi di atasnya. Beberapa teman-teman kantor Ardi yang aku kenal, saudara-saudara Ardi, sepupu, bahkan mungkin keluarga Tyas yang aku tidak pernah tahu. Lama aku memperhatikan semuanya, memperhatikan setiap detil di setiap sudut tenda. Tiba-tiba lamunanku buyar karena ada getaran dari dalam tas jinjing biruku. Kuraih handphoneku yang bergetar di dalam tas yang kupangku itu. Kubuka sms yang masuk, aku menarik nafas panjang dan mengucap perlahan isinya:

Aku pasti jemput kamu..
Sender: Ardi
                                                                                    ***