Hujan
di balik Cadar Biru
This Romeo is bleeding, but you can’t
see his blood
It’s nothing but some feelings
That this old dog kicked up
It’s been raining since you left me
Now I’m drowning in the flood
You see I’ve been a fighter
But without you I give up
Now I can’t sing a love song
Like the way it’s mean to be
Well, I guess I’m not that good anymore
But baby, that’s just me
Yeah, I, will love you, baby
Always and I’ll be there
Forever and a day, always
I’ll be there till the stars don’t shine
Till the heaven burst and the words
don’t rhyme
I know when I die you’ll be on my mind
and I’ll love you, always..
Dibalik jendela ruang tamu aku tersenyum sendu
melihat tetesan deras air penuh berkah itu. Sesekali aku mainkan harmonica
coklat di sebelah kanan tanganku yang mengiringi lagu sendu Always milik Jon Bon Jovi dari MP3
androidku . Teringat kenangan 7 tahun lalu bersamamu dan juga hujan.
***
“Kamu dimana sih Rasti,kok gak nongol-nongol aku udah nungguin kamu dari setengah jam lalu?’teriak
Ardi dari seberang telepon
“Aku keujanan dari mulai berangkat tadi dan hujan
deres gak reda-reda nih, ini motorku juga mogok makanya berhenti, aku udah
deket kok”sahutku
“Ya udah buruan, aku tunggu di wartel
ya..tut..tut..tut” balasnya sambil menutup pembicaraan di telpon.
Aku segera memaksa bebek besiku dan mengengkol mesinnya agar dapat bergerak.
“Kenapa neng?”tanya sopir truk diseberang jalan
“ini bang motornya gak bisa idup dari tadi,
gara-gara keujanan mungkin mesinnya” jawabku berharap mendapat bantuan
“hehehe…semangat ya neng” jawab sang sopir sambil
berlalu mengegas truknya, lalu melaju
“etdah,
kirain mau bantuin bang” balasku lemas
Sekitar lima menit kemudian , barulah mesin sepeda
motorku menyala. “Alhamdulillah” bisikku dalam hati. Saat dalam perjalanan
terasa getaran di dalam saku rok abu-abuku. “aduh kenapa lupa masukin hape ke
dalam tas sih, bisa rusak nih dipake nerjang ujan deres gini” kataku ngedumel dalam hati. Tak lama sampailah
aku di depan wartel, tepat dimana Ardi menungguku lengkap dengan seragam
sekolahnya.
“Kamu ujan-ujanan?”tanya Ardi
“Yah..tadi kan aku bilang lagi ujan deres, kamunya
gak sabaran sih”jawabku cari alibi
“Maafin aku ya hon ..aku kira kamu bawa jas hujan,
baju kamu basah kuyup gini, bawa baju ganti gak?
“Enggak, kan dari pulang sekolah langsung nemuin
kamu jadi gak sempet pulang, dari sekolah juga emang udah ujan” sahutku
Aku dan ardi memang bersekolah di tempat yang
berbeda, kami sama-sama berada di kelas tiga. Kami sudah berpacaran 2 bulan
belakangan. Sepupu Ardi, Indra adalah pacar dari teman akrabku Tia. Merekalah
yang berhasil “mencomblangkan” aku dan Ardi.
“Minum teh yah hon, kan dingin abis keujanan”katanya
“Enggak lah, biarin aja ntar juga kering dibadan
bajunya”jawabku
“Yaelah
gimana mau kering dibadan, ujan aja masih deres begini, yang ada malah masuk
angin, karena kena ujan berkali-kali”
“Hehehe..” aku cuma nyengir-nyengir kuda
“Mampir kerumah aja yuk hon, nanti pinjem dan pake
baju adek dulu, daripada basah gini nanti malah sakit kamunya” katanya
menawarkan solusi
“Ih, aku malu lho ketemu mami kamu, enggak lah lain
kali aja” jawabku
“Tuh kan kapan lagi coba kalo gak di mulai dari
sekarang” katanya, meyakinkanku.
“Ya udah deh, kalo kamu maksa, hehehe” jawabku manja
“Ya udah, yuk sekarang ke rumah ” katanya
“Tapi kan ujan nya masih deres, nanti kamu keujanan
juga” sahutku
“Kamu kan udah keujanan karena mau ketemu aku,
sekarang gantian aku juga ngerasain apa yang kamu rasain, motornya biar disini
aja dulu, nanti biar Falaq yang anterin kamu pulang”
Aku berjalan sambil tersenyum malu-malu, selang
beberapa detik tangannya menggandeng tanganku menunju sepeda motornya. Jadilah,
kami benar-benar kehujanan di tengah jalan raya, ketika semua orang berhenti
untuk berteduh dan menghindari derasnya hujan, tapi jiwa muda dan perasaan
senang kami berhasil menerjang tajamnya air hujan yang menjatuhi pipi dan mengguyur jasad kami.
“Kamu kok gak pegangan aku, nanti jatuh gimana? Sini
mana tangannya”kata Ardi
Tanpa dikomando tangan kirinya menyambut telapak
tanganku dan menggenggamnya sangat erat
“Jangan dilepas yah hon, biar begini terus sampai 70
tahun ke depan”
Kata-kata Ardi barusan membuatku, senyum-senyum
kegeeran, mungkin kalau ada kaca di depanku, aku bisa melihat wajahku yang
memerah karena bahagia. Sekitar 10 menit kemudian, tibalah kami berdua di rumah
Ardi. Ibunya menyambut kami dengan senyum ramahnya.
“Mi, ini Rasti temenku” Ardi memperkenalkanku dengan
ibunya.
Ia pun masuk
ke dalam kamarnya dan meninggalkan aku berdua dengan ibunya.
“Loh, kok pada ujan-ujanan, bawa baju ganti
gak?tanya ibunya
“Enggak bu…”jawabku
“Oh ya udah, pake baju adek aja ya, biar gak masuk
angin”
Jadilah aku segera masuk ke kamar mandi dan bertukar
pakaian memakai baju adiknya, satu setel, kaos dan celana panjang.
“Ini tehnya diminum dulu, ibu tinggal ke belakang
ya..”
“Iya bu, makasih tehnya” balasku
Tak lama setelah itu, Ardi keluar dari dalam
kamarnya dengan membawa kotak besar berbungkus kado dan satu tangkai bunga
mawar merah yang dia selipkan di belakang punggungnya, aku pun pura-pura tak
melihat ia menyelipkan bunga mawar itu.
“Selamat ulang tahun ya hon, ucapannya gak perlu aku
sampein ya cukup aku simpan dalam doaku untuk kamu” kata Ardi
“Iihh.. harusnya kamu gak perlu repot-repot kasih
kado deh” kataku
“Yee..kamu bukannya bilang makasih dikasih kado,
malah marah-marah, itu aku beli pake tabungan dari hasil uang jajanku lho,
dibuka dong” ujarnya
“Eh iya, makasih yaa sayaaang kadonya, lain kali gak
usah beliin kado lagi deh, di simpen aja uangnya buat tabungan kamu”
“Ya udah, cepet buka kadonya”kata ardi
Aku pun membuka kado yang telah dibungkus rapi,
entah adiknya atau Ardi sendiri yang membungkus kado itu. Di luar hujan masih
sangat deras dan terdengar petir beberapa kali menngelegar. Tapi itu tidak
membuat kami berhenti mengobrol.
“Wah.. bola basket dan harmonica, aku kira isinya
boneka” kataku agak kecewa
“Nih, denger dulu ceritanya aku kasih kamu bola
basket karena itu bentuk dukungan aku ke kamu, katanya mau ikutan seleksi student exchange ke Kanada, supaya kamu
tambah tinggi aku saranin kamu rajin-rajin main bola basket” urainya
“Ah, kamu ngeledek aja deh bisanya” kataku dengan sedikit
memonyongkan bibir.
“Idih siapa juga yang ngeledek, ini tulus, jangan
manyun dulu dong.. hehehe, eh iya dan ini yang lebih penting, harmonica, tau
gak kenapa alasannya aku kasih kamu harmonica?”Tanya Ardi
“Memangnya kenapa, ada apa dengan harmonika?tanyaku
dengan mimic muka serius
“Kamu tau kan, kalo aku dari keluarga broken home, dan harmonika adalah
satu-satunya benda yang ditinggalkan ayahku sebelum kedua orangtuaku bercerai,dulu
aku masih sangat kecil, belum ngerti apapun, kalo aku lagi inget ayahku, aku pasti mainin
harmonica”. Ardi menarik nafas panjang, ada gurat kerinduan akan sosok ayah
dalam kehidupan Ardi, aku terhanyut dalam haru saat itu.
“Yah, jadi kamu aku kasih harmonica sebagai simbol
bahwa kamu adalah bagian dari hidupku, karena aku yakin bahwa kamu lah masa
depanku, kamu yang aku cintai setelah Tuhan dan mami” ujarnya melanjutkan
penjelasannya.
Aku menangis terharu mendengar ceritanya, kemudian
dia meletakkan tangan kanannya ke punggung belakang badannya, dan mengambil
setangkai bunga mawar merah yang terdapat kertas aluminium foil dibawahnya, untuk membuat bunga mawar tersebut
bertahan beberapa hari dan tidak layu.
“Eits, jangan sedih, nih aku kasih bunga buat kamu, tujuannya
sih biar mawar ini malu kalo ternyata ada yang lebih cantik dari dia” ujarnya
merayu
Bukannya berhenti menangis tetapi justru airmataku
makin deras dibuatnya.
“Udah dong hon dirayu kok malah makin jadi
nangisnya” ujarnya sambil mengusap-usap kepalaku
Kami berdua larut dalam obrolan-obrolan seru, tak
terasa jam menunjukkan pukul lima sore.
“Udah sore, aku pulang ya sayang, nanti kesorean
sampe di rumah “
***
Tujuh tahun kemudian.
“Aku harap kamu ngerti” kata Ardi
“Aku selalu punya alasan untuk ngertiin dan pahamin
kamu, aku juga selalu punya stok maaf untuk setiap kesalahan kamu” ujarku
“..tapi ini beda hon, aku ada dalam tahap harus
memilih antara kamu atau mami, mami Cuma mau menantu suku Jawa”
“Ini gak adil buat aku” tangisku histeris
“Maafin aku hon..aku gak bisa jadi suami kamu,
tut..tut..tut”
Telepon ditutup langsung oleh Ardi, aku coba hubungi
lagi nomornya tapi sudah tak aktif lagi. Aku masih belum sadar bahwa dia
memutuskanku sepihak tanpa memberi kesempatanku bertemu. Padahal tepat sebulan
sebelumnya dia dan orangtuanya datang menemui orangtuaku dan melamarku. Sungguh
tak habis pikir dan aku sama sekali tidak mengerti dengan semua alasan yang ia
buat. Segera aku ambil lagi handphoneku dan ku telepon ibunya.
“Assalammualaikum, ibu apa kabar?”
“Wa’alaikumsalam Rasti, kenapa?” terdengar jawaban
ibunya sedikit ketus
“Mami..Rasti mau cerita gak ganggu kan?”
“Ya udah cerita aja” kata ibunya datar
“Ardi barusan putusin Rasti, dan Rasti gak tau
alasannya” tangisku
“Aduh Rasti mami gak mau tau urusan kalian berdua
ya, Mami gak mau ambil pusing” katanya sewot
“Mami tolong bantuin Rasti, gimana Rasti bilang ke
papa, mama dan keluarga besar yang udah tau kalo tahun ini Rasti dan Ardi mau
menikah?”
“Ya bilang aja ke orangtua Rasti nikahnya ditunda
sampai batas waktu yang gak bisa ditentukan?”
“berarti gak ada kepastian untuk Rasti?”
“Mami gak mau tau ya urusan kalian berdua, selama
ini kan kalian bahagia juga berdua, jadi kalo ada kejadian ini mami juga gak
mau tau, udah dulu ya Rasti, mami ada tamu” ceklek..Ibunya
ardi seketika memutuskan pembicaraan di telepon tanpa salam penutup.
Sebuah tanda Tanya besar besar ada dalam benakku.
Sampai dua bulan kemudian. Tia, Calon istri sepupu Ardi yang notabene adalah
sahabat dekatku mengirimkan sebuah pesan melalui Blackberry Messenger
Tia:
Rasti,
maaf sebelumnya udah tau dengan Tyas?
Aku:
Gak
tau, emang siapa?
Tia:
Ardi
sekarang dekat dengan cewek itu, kerjanya di kabupaten yang sama, kalo
berangkat dan pulang selalu bareng, malah kalo berangkat cewe itu selalu
dijemput Ardi kok..
Aku:
Ya
Allah teganya (dengan emoticon
menangis)
tIA
: Iya,
malah maminya bilang ke bude, kalo Ardi beneran putus sama Rasti, maminya Ardi
bakalan beliin mobil untuk Ardi dengan merk apapun.
Tanpa membalas bbm
sahabatku tersebut, segera kuhubungi Ardi, setelah dua bulan kami tak saling
sapa baik dalam sms, bbm atau lainnya.
Aku merasa bahwa cintaku dengan murahnya di tukar dengan sebuah mobil.
Jahatnya, itu yang ada dalam pikiranku. Kontak bbm Ardi pun telah lama ku hapus.
“Dia Cuma nebeng”
Cuma itu jawaban Ardi saat kutanya tentang Tyas
“Kamu bohong”
Ardi tak menjawab, ketika aku bilang bahwa dia telah
membohongiku, kami berdua hening sesaat, hanya terdengar suara isakan pelan
dari mulutku.
“Maaf hon, aku memang lagi deket sama Tyas, gak tau
kenapa mami seneng banget kalo dia ke rumah, aku sampe kepikiran kenapa bukan kamu yang ada di posisi itu, mami
bahkan minta nomor ponselnya langsung di depanku, mami betah untuk ngobrol
berlama-lama dengan Tyas,ngobrol apapun termasuk ngajarin Tyas tentang bisnis
meubelnya ini. Mami kelihatan bahagia banget, aku belum pernah liat itu sebelumnya. Aku gak
pernah liat mami ngelakuin hal yang sama ke kamu” jawab Ardi.
“Tapi kamu bisa kan tetep usahain aku?”
“Udah terlambat hon, kita udah berjuang selam tujuh
tahun untuk dapetin restu mami, tapi tetep nihil hasilnya.
“Terus kenapa kamu dan mami waktu itu minta aku
langsung ke orangtuaku?”
“Aku gak ngerti, maafin aku hon”
Kali ini tanpa basa-basi kututup teleponnya dan aku
berusaha menghubungi ibunya Ardi.
“Salah Rasti apa ke Mami?”
“Yang jelas Tyas lebih baik dari Rasti, UDAH itu”
“Terus kenapa mami dan Ardi malam itu datang ke
rumah untuk bicarakan teknis pernikahan, bahkan mami sempat tunjukkan kain
kebaya yang akan di pakai di acara pernikahanku dan Ardi ke mama?, terus kenapa
mami sudah siapkan warna pink untuk
jadi warna seragam kebaya pernikahan? Terus catering
dan kue-kue yang mami sudah pesan itu apa mi?”
“Aduh Rasti mami gak mau ribut ya, asal Rasti tau,
mami nemuin papa dan mama rasti itu
TERPAKSA, karena Ardi ngancem mami
bakal kabur dari rumah kalo gak nikah sama Rasti, belum apa-apa aja Ardi sudah
berani bantah mami, mau jadi Malin Kundang dia kalo jadi nikah sama Rasti
karena lebih bela istrinya dibanding ibu kandungnya sendiri, anak durhaka.
Sembilan bulan Ardi ada di perut mami, mami susuin
dengan asi, mami urus Ardi sendiri sampai dia bisa sebesar sekarang”.
“Mami, tolong kasih Rasti kesempatan untuk bisa
ketemu mami dan Ardi dalam satu waktu, Rasti mohon sebelum Rasti bilang ke papa
dan mama bahwa pernikahan yang sudah di rencanakan itu gagal” kataku sambil
berlinangan airmata
“Mami gak bisa janji ya Rasti, kalo Rasti merengek
begini terus itu tandanya Rasti bukan perempuan baik-baik, harusnya Rasti punya
harga diri sebagai perempuan, yang jelas Ardi bilang ke mami kalo Ardi udah gak
cinta lagi sama Rasti”.
Hah??kataku dalam hati, bersikap tenang setelah
pemutusan sepihak yang aku sendiri tidak tahu sebabnya?bagaimana bisa aku
berdiam diri dengan tanda tanya besar di kepalaku. Ibunya bilang bahwa Ardi
sudah tak mencintaiku lagi, cepat sekali waktu tujuh tahun hanya kurang dari
tiga bulan menghilangkan rasa cinta yang begitu kuat dalam hatinya.
“Tapi mi, satu kali ini aja Rasti minta waktu”
“Nanti mami bilang ke Ardi dulu”
Setelah pembicaraan lewat telepon itu, aku lebih
banyak diam, mengurung diri di kamar. Aku rasa mama pun tahu bahwa aku sedang
bermasalah, tapi mama memilih untuk tidak bertanya langsung padaku. Pernah
sesekali mama bertanya keberadaan Ardi padaku, karena dulu setiap hari libur
kerja Ardi selalu berkunjung ke rumah, tapi aku selalu beralasan ke mama bahwa
Ardi sedang sibuk dan sedang ada Dinas
Luar ke luar kota. Hari-hari sungguh kulewati dengan berat. Bagaimana
mungkin aku dengan legowo begitu saja
menerima kenyataan ini. Pernikahan yang sudah di dekat mata, dengan segala
persiapannya gagal begitu saja. Pertanyaan-pertanyaan mulai muncul dalam
pikiranku, apa jawabku kalau keluarga besarku bertanya tentang pernikahan ini.
Semua pertanyaan yang akan muncul dari mulut oom, tante, bahkan nenekku. Apa
aku harus bilang sejujurnya bahwa pernikahan ini batal, terus apa alasanku?
Yaaa ampuuuunn…hampir pecah kepala ini dengan pikiran yang kubuat sendiri.
Tiga hari setelah pembicaraan di telepon, Ardi
menelponku dengan menggunakan nomor ponsel ibunya.
“Besok kerja gak?”
“Enggak”kataku
“Mami bilang katanya kamu mau ketemu aku sama mami,
besok bisa?jadi bsk kamu ke rumah ya”
Esok paginya kami bertiga bertemu, sesuai dengan
permintaanku, dan mereka mengabulkan dengan memberi kesempatan padaku. Hari itu
maminya lah yang membuka pembicaraan kami.
“Mami ini ya Rasti, dulu waktu mami masih gadis enggak mau diajak nikah kalo belum
kerja”
Gleeg..baiklah
mungkin maksudnya adalah pekerjaanku yang belum mapan, karena pekerjaanku
sebagai seorang tenaga honorer di sebuah instansi pun ia permasalahkan. Aku
tahu diri mungkin dalam pikirannya, anaknya yang seorang PNS terlalu baik jika
harus menikah denganku, dan Tyas seorang wanita dengan label PNS yang sama
adalah kritreia yang lebih baik masa depan finansialnya dariku. Kini aku tahu
semua alasannya, di awal percakapan itu membuatku paham akan alasan-alasan
pemutusan sepihak ini. Ya, selain masalah suku, pekerjaanku pun salah satu
sebabnya. Saat itu, aku dan Ardi tak banyak bicara, kami hanya beberapa kali
bertatapan mata, tentunya dengan mataku yang berkaca-kaca.
“Mi, boleh aku ngobrol berdua aja dengan Rasti?”
“Ya, kalo gitu mami tinggal ke belakang dulu liat
karyawan turunin barang meubel ya, selesain masalah kalian berdua, di selesain
jangan diem-dieman aja, kalo kalian gak ngomong-ngomong dan saling diem gak
akan selesai masalhnya”
Seketika hanya ada kami berdua di ruang tamu itu,
selama beberapa menit tak satupun kata terucap dari mulut kami berdua, hanya
linangan airmataku yang menjadi awal pembuka tatapan mata kami. Kami memang tak
berbicara tapi sorot matanya menunjukkan kekhawatiran Ardi akan perasaan yang
aku alami. Mungkin ia tidak sanggup dan tidak tega untuk menyampaikan semua
alasan yang ada dalam benaknya. Sambil menyodorkan dan meletakkan kepalaku di
atas bahunya, tangan kanannya terus mengusap airmata yang menetes deras dari
mataku, ia pun mengawali pembicaraan serius itu.
“Tanpa harus aku omongin
kamu pasti tahu rasaku, sebanyak airmatamu yang mengalir di pipi itulah rasa
hatiku”. Kata Ardi sambil terus mengusap pipiku.
Tak sepatah kata pun aku balas ucapan Ardi, hanya airmata
yang terus mengalir tiada henti.
“Aku ini bukan laki-laki yang baik untuk kamu hon”
“Alasanmu terlalu klise” jawabku
“Aku ngerasa
kalo kamu akan jauh lebih bahagia dengan orang lain, bukan dengan aku”
“Tapi selama ini aku bahagia sama kamu”
“Aku gak mau ngerusak masa depanmu hon, aku cinta
kamu tapi kenyataannya ku gak bisa memiliki kamu. Kita bisa berencana untu menikahi siapa saja, tapi kita gak bisa
merencanakan cinta itu untuk siapa. Menikah
itu nasib, mencintai itu takdir” katanya sambil mengutip kalimat dari
sastrawan Sudjiwo Tedjo.
“Nasib itu
masih bisa di ubah selama kita mau berusaha untuk merubah kan? kamu kan masih
bisa usahain aku” ujarku melanjutkan jawaban atas penjelasannya
“Aku percaya kok kalo jodoh gak akan kemana” lama ia
menatap aku yang terus meneteskan airmata di hadapannya.
Dalam akhir pembicaraan Ardi berkata, “Ikhlasin aku
hon..”. Aku tersenyum sambil berkata “Ya..
aku ikhlas”.
***
Jumat, 11 Januari 2013
Langit hitam mendung menaungi tenda berwarna abu-abu
dan merah muda yang tersusun bersama bunga-bunga segar , berwarna-warni nan
indah di setiap tiang tenda. Bangku-bangku tersusun rapi dengan jubah warna
putih yang selaras. Ada banyak dekorasi indah di tenda teras gedung itu. Lampu
Kristal besar dengan cantiknya menjadi ornamen yang menambah kesan wah pada tenda pink dan abu-abu itu. Tampak banyak wanita berkebaya pink dan laki-laki yang berbatik coklat
sibuk hilir mudik keluar masuk gedung. Akan ada sebuah prosesi sakral disana.
“Saya terima nikahnya Tiwi Ningtyas binti Rivandaru
Atmaja dengan maskawin seperangkat alat shalat dibayar tunai”
“Sah..sah..sah..”
Ya.. di gedung itulah berlangsung pernikahan Ardi
dan Tyas. Suara tersebut terdengar lantang dari dalam gedung hingga ke tenda
teras gedung itu. Langit tetap tak cerah, seketika itu juga hujan segera turun deras
tapi tak jatuh dari langit, melainkan
dari sebuah mata air bening menuju cadar biru yang kukenakan di acara itu. Ya..
aku menyelinap diantara para tamu di luar gedung. Memperhatikan dengan seksama
tentang kejadian pagi itu.
Para tamu yang hadir tersenyum bahagia atas
peristiwa itu, petugas catering yang dengan sibuknya melayani para tamu dan
membawa menu-menu lain untuk ditambahkan di atas meja hidangan, dan
pondok-pondok kecil makanan ringan siap saji yang tersusun rapi di atasnya. Beberapa
teman-teman kantor Ardi yang aku kenal, saudara-saudara Ardi, sepupu, bahkan
mungkin keluarga Tyas yang aku tidak pernah tahu. Lama aku memperhatikan
semuanya, memperhatikan setiap detil di setiap sudut tenda. Tiba-tiba lamunanku
buyar karena ada getaran dari dalam tas jinjing biruku. Kuraih handphoneku yang
bergetar di dalam tas yang kupangku itu. Kubuka sms yang masuk, aku menarik
nafas panjang dan mengucap perlahan isinya:
Aku
pasti jemput kamu..
Sender: Ardi
***